Saudaraku yang baik hati… Setiap manusia, Allah SWT anugrahi di hatinya RASA. Dimana rasa ini bermacam-macam jenis dan polanya. Namun, dalam pembahasan kali ini adalah RASA BENAR pada diri kita. Rasa benar yang dimiliki oleh seseorang dipengaruhi oleh ilmu, pengalaman dan selera yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga sesuatu itu benar menurut seseorang atau kelompok, belum tentu benar menurut orang lain atau kelompok lain. Namun untuk memastikan sesuatu itu benar dan diterima oleh semua pihak, maka kebenaran itu harus berdasarkan dalil syariat. Oleh karena itu, rasa benar yang ada pada diri kita hendaklah selalu diukur dengan dalil syariat. Sehingga, apabila rasa benar pada diri kita telah sesuai dengan dalil syariat, maka rasa benar pada diri kita tersebut terbukti benar di mata syariat.
Contoh: Seseorang melaksanakan shalat rawatib kobliyah Dzhur bersama jamaah yang lain di mesjid . Di kanan dan kirinya ada orang lain yang juga melaksanakan shalat kobliyah Dzuhur. Namun orang tersebut suara bacaannya terdengar oleh orang yang ada di sebalahnya. Sehingga orang yang ada disebelahnya merasa terganggu dan merusak kekhusyukan shalatnya. Nah… Saudaraku yang baik hati, kalau kita ukur secara syariat, bahwa shalat kobliyah Dzuhur adalah shalat sirr, yaitu suara bacaan hanya terdengar oleh dirinya dan tidak terdengar ke orang lain. Namun, orang yang suara bacaannya tadi telah mengganggu orang yang ada disebelahnya, dia merasa shalatnya sudah benar, padahal secara syariat shalatnya tidak benar. Ini banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat muslim.
Demikian juga dalam hal-hal lain yang banyak terjadi kesalahan-kesalahan dalam melaksanakan shalat. Masih baik, jika ditegur dan dikoreksi secara baik-baik (hanya berdua) mau menerima, namun terkadang malah merasa tersinggung atau merasa tidak senang ketika ditegur secara baik-baik.
Perlu Sauadaraku ketahui, terkait dengan koreksi terhadap kesalahan dalam ibadah, umumnya mudah disampaikan jika untuk orang lain dan sangat sulit jika ditujukan kepada diri kita sendiri. Dan semoga kita termasuk orang-orang yang merasa bersyukur, jika ada orang yang mengkoreksi ibadah kita demi bertambah baiknya ibadah kita.
Sebagai orang yang ingin memperbaiki shalat, marilah kita dengan jujur dan ikhlas menerima setiap ada koreksi terhadap ibadah shalat kita.
Saudaraku yang baik hati, mari sering-sering kita mengukur kebenaran dan kekhusyukan dalam shalat.
- Wudhuk kita sudah benar, jika wudhuk yang kita lakukan seperti yang dicontohkan oleh Nabi SAW.
- Shalat kita sudah benar jika telah memenuhi rukun dan syarat shalat sesuai dengan tuntunan Nabi SAW
Coba secara jujur periksa satu per satu gerakan shalat kita, mulai dari takbiratul-ihram sampai salam. Apakah semua gerakannya telah sesuai dengan yang dicontohkan Nabi SAW ? Berusahalah semua gerakan dalam shalat kita benar-benar seperti yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Demikian juga dengan bacaan shalat, walau kita merasa sudah hafal, cobalah setidaknya setahun sekali diperiksa kembali bacaan shalat kita. Tidak mustahil akan ditemukan kesalahan dalam melafadzkan bacaan shalat kita, walau dia seorang ustdaz sekalipun.
Jika sudah benar gerakan dan bacaan shalat kita, maka untuk meningkatkan kualitas shalat kita, maka mari kita secara jujur mengukur kekhusyukan kita dalam shalat.
Acuan kita dalam mengukur kekhusyukan dalam shalat adalah Surah Al-A’raf ayat 205:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
Artinya: Dan berzikirlah dengan menyebut (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.
Contoh : Akan dikatakan khusyuk ketika mengucapkan الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ apabila:
- Pada waktu mengucapkannya pakai hati (hati menghayati, mentadabburi dan mempersembahkan bacaan tersebut ke hadiat Allah SWT dengan rasa harap bacaan tersebut Allah terima)
- Ketika menghayati, mentadabburi dan mempersembahkan bacaan tersebut, hati tunduk dan merendahkan diri (merasa hina) di hadapan Allah SWT.
- Ketika menghayati, mentadabburi dan mempersembahkan bacaan tersebut, ada rasa takut di hati karena sedang menghadap kepada yang Maha Besar, Maha Agung, Maha Suci, Maha Melihat dan Maha Mendengar. Karena sedang dilihat oleh Allah SWT, ada rasa takut dilihat oleh Allah jika hati kita tidak kepadaNya, tetapi ingat pada yang lain. Takut dengan adanya ancaman celaka bagi orang yang lalai dalam sholat.
Demikian seterusnya untuk mengukur kekhusyukan dalam setiap mengucapkan bacaan dalam shalat.
Ketiga poin inilah yang dapat kita gunakan sebagai alat ukur khusyuk atau tidak khusyuknya kita dalam shalat.
Saudaraku yang baik hati, ketiga poin tersebut dapat dilakukan secara berjenjang sesuai urutan dalam ayat. Maksudnya, benar dulu mengucapkan pakai hati, sehingga hati benar-benar hadir. Setelah hati hadir, baru bisa hati disuruh tunduk merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Bagaimana caranya hati bisa tunduk merendahkan diri, jika hati itu sendiri sedang melayang kemana-mana ? Jika hati sudah tunduk merendahkan diri di hadapan Allah SWT, barulah dihati bisa dihadirkan rasa takut. Bagaimana caranya di hati bisa ada rasa takut kepada Allah SWT, jika hati tersebut pun belum mau tunduk merendahkan diri di hadapan Allah SWT ?
Untuk itu, bagi Saudaraku yang masih mengalami kesulitan dalam meraih kekhusyukan dalam shalat, maka berlatih dan terus meminta pertolonganlah kepada Allah SWT. Berlatih yang berjenjang, yaitu berlatih dulu untuk poin pertama, yaitu mengucapkan bacaan sholat pakai hati. Berlatih dengan sunguh-sungguh sampai benar-benar terlatih. Baru kemudian dilanjutkan dengan poin kedua, yaitu hati tunduk dan merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Berlatih terus dengan sungguh-sungguh, sampai hati benar-benar terlatih dapat tunduk dan merendahkan diri di hadapan Allah SWT ketika mempersembahkan bacaan shalat. Jika kedua poin tersebut telah terlatih, lanjutkan dengan poin ketiga yaitu menghadirkan rasa takut kepada Allah, dimana kita menyadari sedang menghadap Allah yang Maha Besar, Maha Agung, Maha Suci, Maha Melihat dan Maha Mendengar. Dimana Allah melarang hati kita berpaling kepada yang lain ketika kita menghadapNya.
Wallahu a’lam.