Saudaraku yang baik hati, evaluasi diri yang dimaksud adalah meninjau kembali atas pemahaman dan amalan yang selama ini yang kita kerjakan. Hal ini sangat penting untuk perbaikan diri kita. Dalam mengevaluasi diri ini dituntut kejujuran pada diri sendiri. Betapa banyak saudara kita yang merasa wudhu’ dan shalatnya sudah benar, tetapi begitu dievaluasi ternyata masih banyak yang belum sesuai dengan tuntunan Nabi SAW. Begitu ditunjukkan kesalahannya, saudara kita itu terkadang menjawab ini dan itu terkesan tidak ihklas untuk dikoreksi. Oleh sebab itu, alangkah baiknya kita mengakui secara jujur atas kesalahan-kesalahan yang ada.

Yang pertama sekali yang harus diakui secara jujur bahwa jika kita belum bisa khusyu’ dalam shalat, maka harus kita akui bahwa masih ada yang salah dalam shalat kita. Kesalahan inilah yang secara jujur harus kita terima dan kita jadikan sebagai titik penyemangat bagi kita untuk menemukan jawaban atas kesalahan yang sudah kita akui tersebut.  Hal-hal yang menjadi perhatian kita dalam melakukan evaluasi diri adalah sebagai berikut.

1. Mentauhidkan Allah SWT

Sudahkah kita mentauhidkan Allah SWT secara murni. Seperti yang telah dibahas pada bab 1, kita harus benar-benar mentauhidkan Allah SWT secara Uluhiyah, Rububiyah, Asma dan Sifat secara benar. Saudaraku yang baik hati, mentauhidkan Allah SWT secara benar menjadi syarat utama untuk menuju khusyu’. Tinggalkan semua pemahaman-pemahaman yang menyimpang.

2. Melaksanakan wudhu’ dan shalat sesuai tuntunan Nabi SAW.

Jika ada cara berwudhu’ atau shalat dan dzikir yang belum sesuai dengan tuntunan Nabi SAW segera ditinggalkan dan ikutilah tuntunan Nabi SAW.

3. Memperbaiki gerakan dan bacaan dalam shalat

Saudaraku yang baik hati, shalat adalah ibadah menghadap dan mempersembahkan kepada Allah yang Maha Besar, Maha Suci, Maha Agung dan Maha segalanya. Jika kepada manusia saja kita berusaha untuk bersikap dan berbuat sebaik mungkin. Bagiamana kita bertutur kata dan bersikap kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, dalam shalat bersikaplah dengan adab yang tinggi, dengan penghormatan yang setinggi-tingginya, lakukanlah gerakan shalat dengan sebaik mungkin dengan penuh pengagungan, bacalah bacaan shalat dengan tajwid yang benar dan tartil, dengan ucapan yang sopan dan penuh harap Allah SWT ridho menerimanya. Jangan membaca secara tergesa-gesa. Bukankah kita jika bicara dengan manusia tidak tergesa-gesa ?

4. Memahami apa yang sedang kita ucapkan/baca ketika shalat.

Ketika kita berbicara dengan orang lain, kita paham dengan apa yang kita bicarakan. Begitulah seharusnya. Ketika bicara/baca bacaan shalat, sesungguhnya kita sedang berbicara dengan Allah SWT secara langsung. Tetapi jika kita sendiri tidak memahami apa yang sedang kita bicarakan, tentu dengan mudah syaitan yang bernama Khanzab melalaikan hati kita. Oleh karena itu, pahamilah setiap bacaan dalam shalat.

5. Melakukan perbaikan diri secara ikhlas

Saudaraku yang baik hati, apabila kita telah mengamalkan suatu amalan atau pemahaman suatu ilmu yang sudah berlangsung lama, kemudian ternyata amalan atau pemahaman kita tersebut tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, maka sesungguhnya sangat sulit untuk dirubah jika tidak dilakukan dengan ikhlas hati. Hal seperti ini sangat banyak kita temukan di masyarakat. Penyebabnya antara lain:

a. Talbis, yaitu menampakkan kebatilan dalam bentuk kebenaran.

Suatu yang sebenarnya kebatilan, tetapi karena dikemas sedemikian rupa sehingga orang awam melihatnya seperti suatu kebenaran. Misalnya, mesjid yang setiap sebelum subuh menyalakan murotal (rekaman baca Qur’an) dengan suara yang sangat kuat. Sepertinya hal itu suatu kebaikan atau kebenaran. Padahal, banyak orang yang merasa terganggu. Disaat itu mungkin ada orang yang sedang tahajud, berdzikir atau orang sakit yang susah tidur, atau ada bayi yang sakit dan susah tidur. Ditambah lagi suara murotalnya ada dari beberapa mesjid dan kita pun bingung yang mana mau kita dengar. Bukankah agama sudah mengajarkan dengan adzan sudah cukup.

Di dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir jilid 3 halaman 518 dijelaskan bahwa: Karena orang-orang musyrik jika mendengar Al-Qur’an, mereka mencacinya dan mencaci Allah Ta’ala yang menurunkannya, serta mencaci maki orang yang membawanya. Lalu Allah Ta’ala memerintahkan Rosul-Nya  Muhammad SAW untuk tidak mengeraskan bacaan Al-Qur’an supaya tidak dicaci maki oleh orang-orang musyrik dan juga diperintahkan untuk merendahkannya sehingga tidak terdengar oleh Sahabatnya. Dan hendaklah ia mengambil jalan tengah antara keduanya (jahr dan sirr)

b. Ghurur, yaitu sejenis kebodohan yang mengakibatkan seseorang meyakini suatu kesalahan sebagai kebenaran dan suatu keburukan sebagai kebaikan.

Ini banyak terjadi di masyarakat  dan hal ini akibat dari tidak paham dengan agama. Misalnya, Seseorang yang shalat dengan membaca secara sir tetapi dibaca suaranya sampai terdengar oleh orang yang di sebelahnya dan orang di sebelahnya tersebut terganggu. Ada juga jemaah shalat Jum’at yang bercerita di saat khatib berkhutbah.

c. Fanatik terhadap pemahaman dan amalan yang sudah diamalkan selama ini.

Orang yang fanatik terhadap pemahaman dan amalan yang sudah lama diamalkan selama ini sulit untuk merubahnya. Dibutuhkan keikhlasan dan kesungguhan untuk merubahnya. Misalnya, orang yang membalikkan telapak tangan pada saat salam.

Saudaraku yang baik hati, hal ini hanya dikhususkan kepada saudara kita yang selama ini bergaya hidup layaknya orang yang kurang memperhatikan aturan agama. Seperti kurang memperhatikan halal/haram/riba rezekinya, berdusta sudah menjadi hal yang biasa, dekat dengan dunia hiburan dan lain-lain. Jika saudaraku ada yang demikian, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah bertaubat kepada Allah SWT dengan taubat yang sungguh-sungguh (taubatan nasuha). Karena selama belum melakukan taubat, maka hati masih diselimuti oleh noda-noda maksiat dan sulit untuk mendapat hidayah. Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. [QS Al-Baqarah: 222]

Oleh sebab itu, jika kita termasuk orang yang dimaksud di atas, maka untuk belajar meraih khusyu’ dalam shalat, lakukanlah taubat sebagai awal memulai kehidupan yang islami. Insya Allah akan mendapat taufiq dan hidayah dari Allah SWT.

6. Lakukanlah istighfar 100 kali setiap hari

Nabi SAW mengajarkan kepada kita agar membaca istighfar 100 kali setiap hari (sebaiknya bakda Ashar). Nabi SAW bersabda:

عَنْ الْأَغَرِّ الْمُزَنِيِّ قَالَ مُسَدَّدٌ فِي حَدِيثِهِ وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ لَيُغَانُ عَلَى قَلْبِي وَإِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ فِي كُلِّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ

Artinya: Dari Al Agharr Al Muzani, Musaddad yang pernah menyertai Nabi SAW dalam haditsnya mengatakan; Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya hatiku pernah tertutup dan aku beristighfar kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali [HR Abu Daud]

7. Meninggalkan maksiat

Saudaraku yang baik hati, sesungguhnya perbuatan maksiat mengakibatkan turun atau melemahnya imam. Ketahuilah bahwa khusyu’ adalah nikmat dan karunia yang Allah berikan kepada orang bersungguh-sungguh dan benar dalam mendekatkan diri kepadaNya.  Andaikan  pun  kita  sudah  mengusasi  atas ilmu khusyu’, namun jika kita melakukan maksiat, niscaya Allah SWT akan mencabut nikmat khusu’ tersebut. Oleh sebab itu, orang yang shalatnya khusu’ akan ada pada dirinya energi yang besar untuk tercegah dari perbuatan maksiat (keji dan mungkar). Allah SWT berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Artinya: Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar [QS Al-Ankabut: 45]

8. Memelihara semangat dalam belajar khusyu’

Saudaraku yang baik hati, penulis dalam belajar shalat khusyu’ membutuhkan waktu berpuluh tahun. Selama itu penulis memelihara semangat agar tetap gigih dalam menuntut ilmu. Waktu yang cukup lama dibutuhkan karena sulit dalam mencari kitab-kitab khusus tentang shalat khusyu’. Apalagi sangat sulit mencari taklim atau kajian yang membahas tentang shalat khusu’. Atas dasar yang penulis alami ini, sehingga penulis terdorong untuk menulis buku ini.

Saudaraku yang baik hati juga hendaknya memelihara semangat dalam belajar shalat khusu’. Mungkin akan menghadapi beberapa kendala seperti yang penulis alami. Jadikanlah itu sebagai jihad di jalan Allah SWT. Apabila saudaraku telah meraih khusyu’, maka akan merasakan buah dari perjuangan meraih khusyu’.