Kita wajib meyakini bahwa Allah SWT adalah pencipta seluruh makhluk benar-benar ada, walaupun kita tidak pernah bertemu, tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar secara langsung. Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan hal ini. Diantaranya firman Allah SWT :
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ
Artinya : Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun (yakni tanpa Pencipta), ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? [QS : Ath-Thûr :35]
Dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan tentang maksud ayat ini adalah: Apakah mereka itu diadakan tanpa ada yang mengadakan ? Ataukah mereka yang mengadakan diri mereka sendiri ? Sama sekali tidak demikian, tetapi Allah Ta’ala yang menciptakan dan mengadakan mereka setelah sebelumnya mereka sama sekali tidak disebut.
Ayat di atas adalah salah satu ayat yang menjelaskan keberadaan Allah SWT sebagai pencipta. Dalam ayat lain dijelaskan bahwa Tuhan kita adalah Allah SWT, yaitu Tuhan yang mencipatkan langit dan bumi.
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa kemudian Allah SWT ber-istiwa’ di atas Arsy” [QS Al-A’raaf: 54]
Surat Al-A’raaf ayat 54 di atas menjelaskan Allah SWT berada dimana, yaitu berada di atas Arsy. Imam Ibnu Katsir menjelaskan ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ (kemudian Allah SWT bersemayam di atas Arsy). Para ulama seperti Imam Malik, Imam Al-Auza’i, Imam Ast-Sauri, Imam Al-Laits bin Sa’ad, Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ishaq bin Rawahaih dan imam-imam lainnya, baik yang terdahulu maupun yang hidup pada masa berikutnya, mereka berpendapat dalam memahami potongan ayat tersebut dengan membiarkan arti potongan ayat tersebut seperti apa adanya (ber-istiwa’), tanpa adanya takyif (mempersoalkan kaifiatnya/hakikatnya), tasybih (penyerupaan) dan ta’thil (penolakan). Setiap makna yang terlintas dalam benak orang yang menganut paham musyabbihah (menyerupakan Allah SWT dengan makhluk), maka hal tersebut terjauh dari Allah SWT, karena tidak ada sesuatupun dari ciptaan Allah SWT yang menyerupaiNya. Seperti yang difirmankanNya berikut ini :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya : Tidak ada sesuatupun yang serupa denganNya. Dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat [QS Asy-Syura: 11]
Jika Allah SWT tidak serupa dengan makhluk apapun, maka kita harus memegang asas bahwa jangan pernah menyamakan pemahaman kita antara Allah SWT dan mahkluk. Bedakan rumus atas zat Allah SWT dengan makhluk. Contoh:
- Allah SWT melihat dan makhluk melihat. Cara memahaminya adalah kita memahami bagaimana cara makhluk melihat, sedangkan Allah SWT melihat beda dengan cara melihat makhluk, hanya Allah SWT yang tahu bagaimana cara Allah SWT melihat dan kita cukup dengan memahami dengan apa yang di kabarkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an bahwa Allah SWT maha melihat.
- Allah SWT memiliki tangan dan makhluk memiliki tangan. Cara memahaminya adalah kita memahami bagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk, sedangkan Allah SWT memiliki tangan berbeda dengan tangan makhluk dan hanya Allah SWT sendiri yang tahu bagaimananya tangan Allah. Cukuplah kita mengimani bahwa Allah SWT memiliki tangan seperti yang dikabarkan oleh Al-Qur’an.
- Allah SWT telah memberi kabar dalam Al-Qur’an bahwa Allah SWT ber-istiwa’ di atas Arsy (الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ) Artinya : Yaitu yang Maha Pemurah, yang ber-istiwa’ di atas Arsy [QS Thaha: 5]. Karena Allah SWT sendiri yang memberikan kabar bahwa Allah SWT ber-istiwa’ di atas Arsy, cukuplah kita mengimani apa yang Allah SWT kabarkan di dalam Al-Qur’an tersebut. Bagi makhluk kata istiwa’ dimaknai “bersemayam”. Sehingga kita paham bagaimana bersemayamnya makhluk, tetapi karena Allah SWT tidak serupa dengan makhluk, maka kita tidak tahu (maha ghaib), tidak mengetahui kaifiat-Nya. Sehingga kata istiwa’ tetap digunakan karena menyangkut kaifiat-Nya hanya Allah yang tahu dan untuk mencegah terjadinya pergeseran dari makna istiwa’, maka seperti pendapat para ulama di atas dengan membiarkan potongan ayat apa adanya, maka kita tetap menggunakan ber-istiwa’ di atas Arsy. Namun jika menggunakan kata bersemayam, maka wajib bagi kita bahwa bersemayamnya Allah di atas Arsy bukanlah seperti bersemayamnya makkhluk. Bukan seperti bersemayamnya seorang raja di tahta istananya. Jika jika masih membayangkan dengan akal atau imajinasi bagaimana bersemayamnya Allah di atas Arsy, maka sama saja kita menyamakan Allah SWT dengan makhluk, dan itu merupakan kesalahan besar. Hanya Allah SWT yang tahu bagaimana Allah SWT ber-istiwa’ atau bersemayam di atas Arsy. Kita cukup mengimani bahwa Allah SWT ber-istiwa’ atau bersemayam di atas Arsy sesuai firmanNya.
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang mengkhabarkan bahwa Allah SWT ber-istiwa’ di atas Arsy. Antara lain:
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
Artinya: Yaitu yang Maha Pemurah, yang ber-istiwa’ di atas Arsy [QS Thaha: 5].
الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۚ الرَّحْمَٰنُ فَاسْأَلْ بِهِ خَبِيرًا
Artinya : Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia ber-istiwa’ di atas ‘Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia [QS Al-Furqaan: 59]
Ayat lain yang menjelaskan bahwa Allah SWT bersemayam di atas Arsy adalah:
إِ إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۖ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ۚ ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia ber-istiwa’ di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran ? [QS Yunus: 3]
Ketika Mu’awiyah Bin al-Hakam as-Sulamy ingin memerdekakan hambanya (Jariyyah/ hamba wanita) , beliau membawanya kepada Rasulullah SAW :
Rasulullah bertanya kepada hamba tersebut: “Di manakah Allah (aina Allah)?” Jawab hamba itu: “Allah di langit (fis samaa’).” Baginda Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah aku?” Jawab hamba itu lagi: “Engkau adalah Rasulullah.” Dan kemudian baginda Rasulullah bersabda, “Merdekakanlah dia, kerana dia seorang mukminah (wanita yang beriman).
Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟
Artinya : Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?
قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ
Artinya : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arsy di atas air.”
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa firman Allah SWT, hadist Nabi SAW dan pendapat ulama adalah :
Allah SWT bersemayam di atasnya Arsy (Surat Thaha: 3, Al-Furqaan: 59, Yunus: 3).
Allah SWT di atas langit (Hadits Nabi SAW riwayat Imam Muslim : ketika Mu’awiyah Bin al-Hakam as-Sulamy ingin memerdekan budak wanitanya Jariyyah, riwayat). Di atas langit maksudnya bukan di langit tetapi di atas dari pada langit. Bukan tempatnya di langit, tetapi diatasnya langit.
Sehingga ketika kita mendirikan shalat, maka kita wajib berkeyakinan bahwa “Allah SWT berada di atas Arsy ”. Cukuplah kita berpaham bahwa Allah SWT bersemayam di Arsy . Dan jangan sekali-kali memunculkan pertanyaan “BAGAIMANAKAH ?“ terhadap zat Allah SWT. Cukuplah kita memahami apa-apa yang sudah dikabarkan oleh dalil yang shohih. Sesungguhnya Allah SWT adalah Zat yang MAHA GHAIB. Dan akal manusia tidak mampu menggapainya.
Ada yang berpendapat bahwa Allah SWT ada dimana-mana. Pendapat ini adalah pendapat dari kelompok Jahmiyah dan Mu’tazilah serta kelompok lain yang sama pemahamannya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendapat ini sudah terbantahkan. Sesungguhnya yang ada dimana-mana adalah Ilmu Allah, rahmat Allah dan kuasa Allah SWT. Dimanapun berada, apakah di darat, di laut, di udara, di bulan, di planet, di langit bahkan di alam kubur atau di alam akhirat sekalipun berlaku ilmu Allah, ada rahmat Allah, dan semua dalam kuasa Allah SWT. Tidak ada tempat dimanapun yang tidak berlaku ilmu Allah, yang disana tidak ada rahmat Allah, dan yang tidak dalam kuasa Allah SWT. Dan tidak ada suatu proses apapun di manapun kecuali dengan ilmu Allah, berkat rahmat Allah, serta dalam kuasa Allah SWT.
Setelah kita mengetahui dan meyakini keberadaan Allah SWT dan dimana Allah SWT berada, selanjutnya kita melanjutkan mengenal Allah SWT dari sisi Keesaaan Rububiyah Allah SWT.